Artikel Psikologi

15 Fenomena Psikologi yang Sering Kita Alami

Author Photo

Robi Maulana

· 17 min read
Thumbnail

15 fenomena psikologi ini sering kita alami. Apa aja sih?

Daftar Isi (Klik untuk Membaca)

##1. Reverse Psychology – Psikologi Terbalik

Dianggap remeh dan nggak bisa, malah tertantang dan melakukannya. Atau dilarang melakukan sesuatu, justru malah terpancing melakukannya. Ini disebut psikologi terbalik atau reverse psychology. Reverse psychology sendiri adalah cara memancing seseorang untuk melakukan sesuatu, tapi dengan meminta dia melakukan sebaliknya. Tapi kok bisa ya?

Jadi manusia punya reaksi yang disebut reaktansi (reactance). Reaktansi terjadi saat seseorang merasa orang lain mengambil “kebebasannya”, pilihannya, atau membatasi geraknya. Ketika kebebasannya diambil, maka seseorang bisa melakukan sesuatu yang justru dia nggak boleh lakukan.

Misalnya orang tua melarang kamu pacaran, karena menganggap kamu belum dewasa. Lalu kamu disuruh di rumah aja. Ketika disuruh di rumah aja, kamu justru malah keluar sebagai bentuk rebel. Ini namanya reaktansi. Psikologi terbalik juga bisa dipake saat menyuruh seseorang melakukan sesuatu dengan cara menyuruh dia melakukan sebaliknya. Misalnya orang tua mungkin ingin anaknya main keluar rumah. Tapi orang tuanya malah bilang “yaudahlah kamu mah main di dalem rumah aja, kamu kan takut panas.” Karena tertantang, akhirnya si anak melanggar yang disuruh tadi, dan akhirnya main keluar rumah. Contoh lain adalah tulisan iklan “Jangan klik link ini kalau nggak mau kaya!” Karena orang rata-rata mau kaya, ya akhirnya malah ngeklik. Psikologi terbalik tuh.

2. Pygmalion Effect

Fenomena unik di psikologi berikutnya adalah pygmalion effect. Kamu adalah sebaik yang kamu pikirkan. Ketika kamu merasa kamu bisa, dan bener-bener yakin, kamu akan bisa melakukan sesuatu itu. Ini disebut efek Pygmalion. Tapi gimana efek ini bekerja? Ketika seseorang diberikan label positif, misalnya pinter nyanyi, bisa Bahasa Inggris, atau punya suatu bakat, orang itu akan menghayati label positif itu ke dalam dirinya, dan akan meningkatkan optimismenya dalam melakukan sesuatu.

Memberikan ekspektasi kepada orang lain, termasuk memberi keyakinan bahwa dia bisa, akan membuat dia lebih yakin sama kemampuannya sendiri. Kebalikan dari teori ini adalah Golem Effect, yaitu menurunnya kemampuan seseorang ketika diberi ekspektasi yang rendah.

3. Placebo Effect

Kamu mungkin udah nggak asing sama istilah ini. Efek plasebo adalah istilah yang digunakan untuk membuktikan bahwa pikiran bisa menyembuhkan tubuh, selama pikiran percaya bahwa tubuh lagi disembuhkan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa seseorang bisa merasakan efek lebih sehat atau keluhannya berkurang setelah dia minum pil kosong, tapi syaratnya dia nggak boleh tau kalo itu pil yang nggak ada kandungannya. Dia harus dibuat percaya bahwa itu pil berkhasiat.

Obat untuk placebo biasanya dikasiin ke anak kecil atau ke orang-orang tua yang ngerasa dirinya sakit badan, padahal cuma perasaan doang. Biasanya walaupun judulnya obat, yang dikasiin adalah pil kosong atau vitamin. Kebalikan dari placebo adalah nocebo effect, yaitu obat yang diminum justru dirasakan memberi efek berbalik dari yang diharapkan.

4. The Illusory Truth Effect

Kebohongan yang dikatakan berkali-kali sama banyak orang, lama kelamaan akan dianggap sebagai fakta. The Illusory Truth alias kebenaran ilusi adalah istilah psikologi untuk ungkapan tadi. Artinya tuh ya kalo suatu kebohongan dikatakan terus menerus, disebarluaskan ke berbagai tempat, orang-orang akan percaya dan mengatakan kalo itulah faktanya.

Fenomena psikologi ini pertama kali diidentifikasi oleh penelitian pada 1977, yang menyimpulkan bahwa ketika seseorang menemukan isu yang belum jelas kebenarannya, orang itu akan mengandalkan informasi yang paling sering dia dapat untuk memutuskan isu itu bener atau nggak. Contohnya gimana sih gangertiii~ Yaudah nih. Bayangkan kamu baru pindah sekolah. Kamu ketemu temen-temen baru dan kenalan. Terus seorang temen baru bilang, ”jangan main sama si Chusnul, soalnya bulu idungnya hasil sulam.” Kamu mungkin nggak langsung percaya. Tapi kalo kamu mencoba nanya ke temen-temen lain dan mereka mengiyakan, lama-lama kamu tambah percaya sama isu itu. Apalagi waktu kamu menyadari isu sulam bulu idung itu udah tersebar luas. Semakin hari kepercayaan kamu semakin kuat. Kok ini bisa terjadi ya? Ini karena ketika seseorang menemukan informasi baru, katakanlah berita atau isu terhangat, orang akan membandingkan informasi itu sama sesuatu yang sudah dia ingat. Istilahnya difilter gitu, dipikirin bener apa nggak. Ketika kamu mendengar isu kamu kan nggak langsung percaya. Itu karena kamu mengkritisinya di dalem otak. Tapi kalo si informasi baru ini diucapkan banyak orang, isi informasinya sama, dan ada di mana-mana, proses filter ini semakin berkurang, dari yang awalnya kamu gak percaya lama-lama jadi percaya juga. Contoh lain adalah mitos-mitos kayak kalo duduk di depan pintu ntar jadi perawan tua, nyapu nggak bersih ntar suaminya brewokan, dan kalo nggak ngefollow akun @psikologihore di twitter ntar jadi jomblo menahun. Tapi ngapain difollow sih orang ngetwit juga 4 bulan sekali Mitos emang nggak masuk akal, tapi karena diucapkan turun temurun, lama-lama kita jadi percaya dan takut melanggar mitos itu.

5. Barnum Effect

Fenomena unik di psikologi ini cukup sering dialami. Orang yang lahir tanggal 25 tuh cuek, caper, tapi setia.Orang dengan golongan darah A selalu perfeksionis tapi berpikiran negatif.Orang dengan kepribadian koleris melankolis selalu detail sama hal kecil. Itu kamu banget nggak sih? Kadang kalo kita ngebaca artikel tentang zodiak, tipe kepribadian, dan aura, rasanya kok kayak tepaaat banget. Di artikel tentang introvert dan tipe kepribadian MBTI juga sering tuh komentar kayak “ihhh ini aku banget,” dan semacamnya. Mungkin ketika ngebaca artikel-artikel semacam ini, kita ngerasa hasilnya “aku banget”. Tapi kadang-kadang tingkat “aku banget” dari tipe kepribadian juga dipengaruhi sugestimu sendiri. Di psikologi ini disebut Barnum Effect.

Barnum Effect, alias Efek Barnum, adalah fenomena ketika seseorang ngerasa hasil dari suatu tes kepribadian yang notabene umum dan dangkal terasa bener-bener pas sama kepribadian kamu. Prosesnya Efek Barnum ini gimana sih? Misalnya kamu ngebaca artikel golongan darah. Mungkin disebutin kalo golongan darah B orangnya caper (saya gak tau yaaa ini ngasal doang). Capernya kayak gimana? Ke orang yang seperti apa? Kan kurang detail. Karena kurang detail, abis membaca kalimat itu, kita langsung flashback ke momen-momen ketika kita caper. Ketika kita mikir,”oh iyaaa dulu waktu di Cicaheum aku pernah caper ke si Eeng,” otomatis kita menyetujui kalo kita orangnya caper. Efek Barnum ini sering juga digunakan sama peramal atau spiritualis untuk membolak-balik emosi audiens. Saya pernah liat acara mistis luar negeri. Jadi si spiritualisnya bilang,”Ada salah seorang audiens di sini yang anggota keluarganya meninggal, dan dia nitip salam” Salah satu audiens menangis karena iya, keluarganya ada yang baru meninggal. Sepintas kayaknya mistis. Padahal ya kalo dipikir secara statistik, peluang adanya satu orang (dari puluhan/ratusan audiens) yang baru aja kehilangan ya gede banget lah. Terus gimana nih, apakah semua tipe kepribadian itu bohongan? Nipu? I’m not gonna state that far, tapi gak usah percaya banget sama tipe kepribadian yang gak ada dasar ilmiahnya. Kuis tipe kepribadian (tanggal lahir, golongan darah, gaya ngupil) hanya didasari pengalaman pribadi penulis (dan bermodalkan tanya-tanya dikit sama orang), dan “disetujui” oleh efek Barnum. Kalo emang bener-bener pengen tau kepribadian kamu kayak apa, ya tes aja pake alat tes ilmiah yang udah teruji. Atau minimal tanya aja sama banyak orang yang kamu kenal. Tapi bukan berarti pseudoscience kayak tanggal lahir golongan darah gitu gak boleh dipake lo yaaa~ Kalo sekedar buat having fun ya nggak papa lah.

6. Mere-Exposure Effect

Beberapa hari yang lalu pacar saya mengeluh soal iklan suatu bimbel online yang ditayangin di semua stasiun TV. Masih mending kalo ditayangin sesekali, lah ini sering banget. Akhirnya saya juga hafal sama jogetnya si Dilan di akhir iklan tersebut. Tapi kenapa si bimbel online gencar banget berpromosi? Selain buat mengenalkan produk, juga supaya produknya dibeli. Di sini sebuah fenomena psikologi berperan. Namanya adalah mere-exposure effect. Mere-exposure effect adalah sebuah fenomena di mana seseorang memilih/membeli sesuatu, karena familiar sama sesuatu itu. Kalo nanti ada banyak bimbel online bermunculan, maka yang terpikir pertama kali ya bimbel yang ada Dilan-nya itu. Misalnya ketika kita mau beli produk. Kita cenderung milih merk yang pernah kita liat di iklan. Iklan bikin kita familiar sama suatu produk.

Atau ketika baru merantau ke tempat asing, seseorang lebih seneng ngumpul/ngobrol sama orang yang sedaerah. Ini karena bahasanya familiar. Mere-exposure effect juga berperan dalam ketertarikan personal. Ada penelitian yang menemukan bahwa semakin sering seseorang bertemu sama seseorang lain, makin lama orang lain itu keliatan semakin menarik. Jadi, mere-exposure effect ini setuju kalo cinta bisa datang karena terbiasa~.

7. Mentalitas Kepiting / Crab Mentality: Fenomena psikologi yang bikin kamu susah berkembang

Waktu SMA kelas 1 saya punya temen cowok yang dapet ranking dua di kelas. Hal ini menggemparkan, soalnya temen saya ini mainnya sama anak-anak bandel. Karena ranking dua, dia jadi bahan ledek-ledekan saya dan temen-temen. Kita tuh ngeledeknya nggak sampe ngebully sih, cuma mungkin ledekannya bikin dia sungkan sama teman-teman bodohnya. Walhasil, di semester berikutnya (sampe lulus) dia nggak pernah lagi masuk tiga besar. Kelakuan kami yang ngeledek dia sampe nggak pinter lagi adalah contoh mental kepiting. Fenomena unik di psikologi ini dinamai mental kepiting, karena berasal dari kebiasaan kepiting dalem ember. Satu kepiting, kalo dimasukin dalem ember, akan mencoba meloloskan diri. Dan mungkin akan berhasil. Kalo kepitingnya banyak, justru malah nggak bisa lolos. Kenapa? Soalnya, ketika ada satu kepiting hampir berhasil naik, kepiting lain akan menahannya.

Mentalitas kepiting ini juga kelihatan sehari-hari. Ketika ada seseorang yang sukses, orang-orang lain akan memberondongnya dengan negativitas. Kalo nggak bisa menjatuhkan karirnya secara langsung, minimal gimana caranya bikin si sukses ini merasa kesal dan melakukan kesalahan. Penyebab crab mentality ini karena sifat kompetitif dan iri. Kebencian sama karakter dari si orang sukses juga berpengaruh. Istilah ini populer di Filipina, tapi kayaknya di lingkungan kita juga sering sih ya. Kalo tetangga udah mulai beli AC baru, beuhhh malah tetangga lain yang kepanasan. Penjelasan paling ilmiah tentang crab mentality ini belum ada sih, tapi ada jurnal dari Selandia Baru yang menuliskan efek negatif dari crab mentality ini. Kamu bisa liat di sini.

8. Spotlight Effect: Fenomena psikologi yang bikin kamu merasa diperhatikan

Pernah nggak sih kamu ngerasain salah potong rambut, atau muka kamu ada jerawat gede, dan rasanya semua orang ngeliatin kamu gara-gara itu? Fenomena psikologi ini cuma sugesti, namanya spotlight effect. Spotlight effect adalah fenomena ketika kamu ngerasa diliatin orang lebih sering dari biasanya. Kamu ngerasa jadi pusat perhatian, meskipun sebenernya nggak juga. Apakah ini sama dengan sombong? Narsisistik? Beda. Kalo sombong dan narsisistik mah seneng gitu ya diperhatiin. Spotlight effect sendiri bikin tengsin, bikin malu, dan terjadi ketika kamu habis melakukan/mengalami sesuatu yang nggak biasa.

Nggak biasa ini berarti positif dan negatif. Katakanlah kamu kehabisan stok baju di lemari, akhirnya terpaksa pake baju yang norak. Rasanya tuh aduuuuh kek semua ngeliatin dan ngetawain kamu. Bisa juga kalo kamu habis menang sesuatu dan dipanggil kepsek ke tengah lapangan waktu upacara. Waduuuuu rasanya menjadi pusat perhatian deh. Spotlight effect bisa disebabkankekhawatiran berlebih, punya basic pemalu, dan ketidakmampuan untuk menyadari bahwa perspektif orang terhadap kita tuh beda-beda. Ada yang suka merhatiin orang, ada yang nggak. Ada yang peduli, ada yang bodo amat. Gitu deh. Spotlight effect ini normal kok. Tapi kalo terlalu sering mengalami ini, coba periksa ke psikolog ya. Siapa tau itu gejala kecemasan.

9. Teori Inokulasi: Fenomena psikologi pada pendukung teori konspirasi

Inoculation theory atau teori inokulasi adalah sebuah teori psikologi yang menyebut bahwa kepercayaan terhadap sesuatu bisa diperkuat dengan cara diekspos dengan bantahan yang lemah. Mirip dengan vaksinasi di badan kita. Kalo vaksin kan badan kita disuntik dengan virus yang dilemahkan, terus badan kita belajar mempertahankan diri sampe akhirnya kebal sama virus itu.

Nah teori inokulasi ini mirip kayak gitu. Kepercayaan seseorang terhadap sesuatu, entah itu aliran kepercayaan, isu, jalan hidup, pokoknya apapun deh… kepercayaan itu bisa dikuatkan dengan diberikan bantahan yang lemah berkali-kali. Misalnya gini. Naylul masih ragu sama bentuk bumi; bulat apa datar. Terus seseorang dateng ngasi tau kalo bumi sebenernya datar. Dia juga bawa berbagai bukti dari internet. Lebih jauh, orang ini kemudian ngasi berbagai artikel bumi bulat yang dikarang-karang sendiri, yang kemudian artikel bumi bulat itu dia bantah panjang lebar di depan Naylul. Bantahan-bantahan ini membuat Naylul percaya kalo bumi itu datar. Artikel bumi bulat karangan sendiri inilah yang kita sebut bantahan yang lemah. Tentu aja lemah, soalnya kan dikarang sendiri. Udah pasti tujuannya menggiring orang biar percaya sama kepercayaannya dia sendiri kan. Di era sekarang teori inokulasi gampang ditemukan. Berita yang hanya dikutip judulnya doang, informasi yang dipelintir, dan foto-foto editan adalah bantahan lemah yang digunakan untuk mempertebal kepercayaan seseorang terhadap sesuatu. Karena sering diajari pake bantahan lemah, maka ketika bantahan aslinya datang, orang yang udah sering diinokulasi jadi nggak percaya lagi. Pokoknya dikasi tau kayak apapun ya nggak percaya.

10. Zeigarnik Effect: Fenomena psikologi tentang urusan yang terus bikin kepikiran

Saya sering mengalami ini waktu jaman bikin skripsi. Ketika skripsi saya nggak kelar-kelar, saya kepikiran terus, keingetan terus, sampe kebawa mimpi. Pernah nggak waktu kamu lagi ngerjain tugas, terus berhenti sebentar, tapi kamu kepikiraaan terus? Atau pas lagi ngetik sesuatu, terus kamu ketiduran, dan kamu tersentak bangun karena keinget ketikannya belum beres?

Ini adalah fenomena psikologi yang disebut Zeigarnik Effect. Zeigarnik Effect, atau Efek Zeigarnik, adalah teori yang menyebut bahwa orang akan lebih ingat tentang suatu tugas kalo tugas itu belum selesai. Ini karena waktu lagi ngerjain sesuatu yang sulit, ada ketegangan spesifik yang kamu rasakan, suatu sensasi gelisah yang baru bisa ilang kalo tugasnya beres. Namun, kalo proses pengerjaan tugas ini terpaksa dihentikan, proses “menghilangkan ketegangan” ini jadi terhalangi. Karena ketegangan ini terasa terus menerus, kamu jadi kepikiran mulu sama tugas ini. Otakmu juga nggak bisa mengalihkan perhatian darinya, walaupun tidur sekalipun. Karena kepikiran terus, kamu jadi lebih ingat sama tugas itu deh.

11. Groupthink: Fenomena psikologi kelompok

Saya pernah keluar kota naik mobil bareng sekelompok orang. Di perjalanan keluar kota ini supir dan navigator memilih rute yang ngawur, yang kalo diterusin pasti bakal nyasar ke kabupaten lain. Saya 100% yakin dan tau jalan mana yang bener. Namun si supir dan navigator ini diskusi dan ngobrol sendiri. Berhubung keputusan kelompok udah bulat untuk memilih jalan nyasar, saya memilih diem dan manut aja. Kamu mungkin pernah berada di dalem sekelompok orang yang mendiskusikan atau memutuskan sesuatu yang nggak masuk akal. Kamu sebenernya nggak setuju, tapi demi keharmonisan kelompok kamu memilih diem. Diam dan mengalah ini adalah groupthink. Groupthink adalah fenomena yang terjadi ketika seseorang memilih diam dan mengikuti kata kelompok, meskipun keputusan kelompok itu nggak masuk akal. Contohnya kayak kasus mahasiswi yang ngacak-acak isi minimarket. Di video viral itu sekelompok cewek berhaha-hihi ngeberantakin isi minimarket tanpa rasa bersalah. Apakah semua cewek itu merasa kalo yang mereka lakuin itu lucu?

Saya rasa pasti ada salah seorang dari mereka yang terbersit rasa khawatir atau perasaan bersalah, tapi milih diem aja soalnya temen-temen lain kok kayaknya antusias banget buat memperlihatkan kenakalan mereka. Groupthink sendiri gak selalu jelek. Pada sebuah kelompok skala besar, kayak perusahaan, keputusan memang cukup dilakukan sama orang-orang teratas aja. Kalo nunggu pendapat satpam dan mang cilok deket parkiran ntar kelamaan. Tapi groupthink bisa fatal ketika sebuah organisasi cacat secara struktural. Misalnya nggak ada ketua kelompok. Ketika kelompok nggak ada ketua yang pasti, maka keputusan apapun diambil melalui suara mayoritas alias banyak-banyakan. Kalo ada ketua kan ketuanya bisa dikasi dua pendapat berbeda terus putuskan. Atau kalo ada ketua kelompok, tapi ketuanya terlalu karismatik sampe-sampe bisa mengaduk-aduk perasaan mayoritas anggota. Kalo mayoritas udah terbakar semangat, bantahan logis dari satu atau sedikit orang kan jadi nggak kedengeran.

Atau bisa juga terjadi karena semua anggota kelompok punya pola pikir yang mirip. Ketika semua punya pola pikir serupa, maka gak ada masukan atau solusi yang unik dari suatu masalah.

12. Bandwagon Effect: Fenomena Psikologi tentang orang yang selalu mengikuti trend

Fenomena unik di psikologi berikutnya adalah Bandwagon Effect. Bandwagon effect adalah bahasa keren dari ikut-ikutan. Semakin banyak orang yang beli, menggunakan, atau menyetujui, maka orang lain jadi semakin gampang untuk mengikuti juga. Efek bandwagon sendiri diambil dari kampanye seorang politisi di Amerika Serikat, yang waktu itu mengendarai bandwagon sambil diiringi para pendukungnya di pinggir jalan. Kampanye politik ini sukses, sehingga politisi lain ikut menggunakan cara yang sama, berharap bisa ikut sukses juga.

Efek bandwagon sendiri bisa terjadi karena kita sebagai makhluk sosial punya kecenderungan membaur dengan norma atau etika di masyarakat. Ketika kita beda sendiri, kita jadi merasa risih. Kemungkinannya dua: antara kita mengikuti norma tersebut atau mengasingkan diri. Contoh efek bandwagon ada banyak. Yang gampang adalah ketertarikan kita saat ngeliat restoran/kafe yang rame. Kalo sering lewat di depan restoran/kafe itu, kita jadi penasaran buat mampir kan? Contoh lain adalah challenge yang sering ada di Instagram. Anak-anak muda sering nyobain challenge yang unik-unik. Mungkin mereka sebenernya nggak ngerti kenapa harus mengikuti challenge semacem itu. Kalo ditanya ya jawabnya,”lagi ngetren” aja. Contoh dari konformitas bisa kamu liat di artikel tentang penelitian terlarang di psikologi di sini.

13. Filter Bubble: Fenomena Psikologi tentang pikiran yang sempit

Fenomena psikologi satu ini mungkin tergolong unik dan baru.
Filter bubble adalah sebuah fenomena sosial baru di masyarakat. Istilah ini pertama diucapkan oleh seorang aktivis Eli Pariser, saat mengutarakan keresahannya terhadap konflik dan perbedaan pendapat di internet.
Filter bubble atau penyaring gelembung (??) adalah fenomena terkungkungnya pendapat dan pola pikir seseorang akibat informasi yang dia cari dan ikuti.
Kenapa ini bisa terjadi? Orang yang percaya sesuatu akan mencari bukti yang menguatkan pendapatnya, bukan membantah pendapatnya. Proses pencarian inipun biasanya dimulai dari googling dan buka sosmed.
Masalahnya, situs pencari dan sosial media akan mempersempit hasil pencarian berdasarkan informasi yang paling sering kita cari aja.
Misalnya Chusnul suka nonton sinetron azab. Chusnul akan mencari foto-foto artis sinetron azab di Google. Dia akan membaca artikel tentang sinetron azab terbaru. Mencari video cuplikan artis azab di Youtube, lalu memfollow mereka di sosial media.
Akhirnya, timeline sosmed Chusnul isinya azaaaab semua. Kalo kamu pinjem akunnya Chusnul, kamu akan kesulitan menemukan Pak Karni Ilyas atau Rosiana Silalahi.
Karena informasi yang dia dapatkan selalu terkait sinetron azab, Chusnul akhirnya jarang memikirkan atau mengetahui tentang sinetron lain. Kalo ditanya apa tontonan paling bagus, dia akan bilang sinetron azab, padahal dia jarang nonton acara lain. Akhirnya subyektif kan.
Google dan sosial media memang diatur sama pembuatnya untuk memberikan informasi berdasarkan minat si pengguna. Imbasnya, karena selalu ngasih informasi yang fokus ke satu topik, maka topik lain jadi terabaikan.
Eli Pariser selaku pencetus istilah ini menyayangkan bagaimana fenomena filter bubble mampu menggiring opini masyarakat terkait pilihan politik mereka.
Misalnya seseorang udah seneng sama satu tokoh, maka informasi tentang satu tokoh ini datang terus menerus, menyebabkan lawan politik jadi terlihat jelek dan selalu salah.
Sebenernya sosmed dan Google gak bisa 100% disalahkan sih. Toh fenomena filter bubble bisa diatasi selama kita berpikiran terbuka dan objektif.

14. Dunning-Kruger Effect: Fenomena Psikologi pada orang yang terlalu pede

Fenomena unik di psikologi satu ini terjadi karena terlalu pede.
Pernahkah kamu memilih nggak belajar karena yakin udah ngerti, tapi pas ujian ternyata kamu nggak bisa sama sekali?
Atau pergi ke warung dengan pede tanpa bawa catatan, tapi ujung-ujungnya pulang lagi karena lupa sama barang yang dibeli?
Dalam psikologi ini disebut Dunning–Kruger effect, sebuah bias yang terjadi ketika seseorang melebih-lebihkan kemampuannya sendiri. Melebih-lebihkan kemampuan ini nggak didasari sama kenyataan dan kemauan untuk merealisasikan keyakinan itu.

Misalnya orang yang menunda ngerjain PR karena yakin PR-nya gampang dan yaaa paling-paling dikerjain sejam juga jadi. Ternyata susah dan dia akhirnya nggak ngerjain sama sekali. Melebih-lebihkan kemampuan ini terjadi ketika orang nggak bisa mengukur kemampuan secara objektif, artinya nggak bisa jujur ke diri sendiri kalo dia nggak pinter-pinter amat. Bias ini juga diperparah kalo punya kebiasaan menganggap enteng masalah atau meremehkan kemampuan orang lain. “Ah aku juga bisa kali kayak gitu.” “Ah kayak ginian mah kecil, aku juga bisa.” Kalo kita nggak sadar sama batas kemampuan kita, maka hasilnya adalah perasaan bahwa kita lebih cerdas dari kenyataan di lapangan.

15. Halo Effect: Fenomena Psikologi tentang prasangka

Fenomena unik di psikologi berikutnya adalah halo effect. Kalo kata pepatah tuh “jangan menilai buku dari sampulnya.” Artinya sih jangan menilai orang dari penampilan luarnya. Tapi apa hubungannya sama halo effect? Nah, halo effect adalah menilai orang dari luarnya. Lebih tepatnya lagi sih: halo effect adalah kebiasaan ngejudge orang, atau menduga karakter seseorang, berdasarkan satu informasi aja. Misalnya kamu ngeliat seseorang pake kemeja rapi, berkacamata, dan pake sepatu pantofel. Kamu mungkin suka sama dandanannya. Otomatis kamu menganggap dia seorang profesional, elegan, dan cerdas.

Atau kamu bertemu seseorang yang pake baju rapi, klimis, sopan, dan kata-katanya halus. Otomatis asumsi kamu adalah dia orang baik dong ya. Halo effect sendiri nggak hanya muncul dari ngejudge penampilan, tapi juga sikap. Di sekolah, siswa yang berperilaku baik dan terlihat antusias selama pelajaran akan dianggap lebih pinter. Dalam proses rekrutmen juga, calon karyawan yang antusias dan sikapnya baik dianggap lebih niat kerja dan lebih siap. Tapi halo effect ini jelek nggak sih? Apakah kalo kita berhalo-effect-ria, berarti kita adalah manusia berlumur dosa? Walaupun emang sebaiknya nggak menilai orang dari secuil informasi, tapi kan kita nggak punya waktu buat selalu ngetes kepribadian orang yang kita temui. Kamu nggak mungkin kan bawa alat tes kepribadian atau tes IQ ke mana-mana.

Halo effect memberikan kita jalan pintas untuk menilai orang. Selama kita aware sama halo effect yang terjadi, rasanya ini bukan sesuatu yang perlu dihindari sekuat tenaga. Halo effect itu alami kok.

#kepribadian#psikologi#narsisme#Fenomena Psikologi#psikopati#sadisme
Author Photo

About Robi Maulana

Penjaga integritas data yang masih jatuh cinta dengan ilmu psikologi. Menulis di sini adalah cara Robi memastikan cinta itu tetap bersemi.