Teori Classical Conditioning Pavlov

Apa itu teori classical conditioning? Seperti apa penjelasan tentang classical conditioning? Bagaimana penerapan classical conditioning dalam kehidupan sehari-hari? Semua kita bahas di sini.

Pernah nggak kamu ngiler membayangkan makanan yang lagi kamu idam-idamkan? Atau bergidik ketika membayangkan hewan yang kamu takutkan? Atau ngerasa naik darah hanya karena mendengar nama orang yang kamu benci disebut di depan kamu?

Kenapa seseorang bisa mengalami fobia? Kenapa kita terkenang mantan saat mencium bau parfum tertentu?

Dalam psikologi, kamu sudah mengalami pengkondisian klasik. Pengkondisian klasik, atau classical conditioning, akan kita pelajari sama-sama di artikel ini. Termasuk juga sejarahnya, proses terjadinya, dan bagaimana classical conditioning ini terjadi dalam kehidupan kita.

Kuy kita bahas!

Definisi Classical Conditioning

Jadi sebenernya classical conditioning itu apa?

Menurut psikologi, pengkondisian klasik atau classical conditioning adalah sebuah teori belajar yang ditemukan oleh Ivan Pavlov , seorang dokter asal Rusia.

Pavlov mengungkapkan bahwa kita bisa menghasilkan suatu respons dengan mengombinasikan dua stimulus; stimulus alami dan stimulus buatan. Pada situasi biasa, stimulus buatan ini nggak menghasilkan respons apa-apa. Tapi apabila dikombinasikan dengan stimulus alami berkali-kali, stimulus buatan ini pada akhirnya akan menghasilkan respons yang sama dengan stimulus alami.

Bingung?

Saya kasih contoh nih. Kamu bisa lakukan ini juga, bahannya cukup mudah ditemukan. Kamu membutuhkan seorang teman yang sudah tidak terpakai dan sebuah sedotan.

Duduklah di sebelah temenmu itu, dan, menggunakan aba-aba 123, tiuplah mata temenmu pake sedotan. Pelan aja, kalo kekencengan ntar ludahmu nyeprot ke mukanya.

Apa yang terjadi? Temenmu mungkin akan memicingkan mata karena tiupan itu mengganggu.

Lakukan ini beberapa kali. Aba-aba, lalu tiup. Lihat responsnya.

Setelah beberapa kali, saat kamu mengucapkan aba-aba, apa respons temenmu? Memicingkan mata kan?

Nah, dalam kasus ini, angin yang ditiupkan adalah stimulus alami, dan memicingkan mata saat ditiup adalah respons alaminya.

Tapi di sini kita menambahkan stimulus buatan, yakni aba-aba. Sebelum percobaan, mungkin temen kita nggak merespon apa-apa apabila kita bilang 1,2,3, di depan mukanya. Tapi setelah dilakukan pengkondisian berkali-kali, mendengar aba-aba 1-2-3 udah cukup untuk membuat dia memicingkan mata.

Ketika dia memicingkan mata sebelum kita tiup, kita udah berhasil melakukan pengkondisian klasik.

Sejarah dan Perkembangan Classical Conditioning

Classical conditioning adalah sebuah teori yang berada di dalam aliran psikologi behavioristik. Behavioristik, seperti yang kita tau, meyakini bahwa perilaku individu disebabkan oleh pengalaman belajar yang berbeda. John Watson, seorang pentolan di aliran behavioristik, pernah berkata:

“Give me a dozen healthy infants, well-formed, and my own specified world to bring them up in and I’ll guarantee to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select - doctor, lawyer, artist, merchant-chief and, yes, even beggar-man and thief, regardless of his talents, penchants, tendencies, abilities, vocations and the race of his ancestors”

“Beri saya selusin bayi yang sehat, dan beri saya dunia sendiri untuk membesarkan mereka. Dan saya bisa mengambil bayi manapun secara acak dan membentuknya menjadi spesialis apapun yang saya pilih - dokter, pengacara, artis, kepala pedagang dan, ya, bahkan pengemis dan pencuri, terlepas dari apapun bakat, kecenderungan, kecenderungan, kemampuan, panggilan dan ras leluhurnya ”

Behavioristik meyakini kalo kepribadian kita terbentuk karena pengalaman dan lingkungan di sekitar kita. Dan pengkondisian klasik dari Pavlov menegaskan keyakinan ini.

Pavlov sendiri bukan seorang psikolog. Dia dokter. Malah, pengkondisian klasik ini ditemukan secara nggak sengaja.

Pada 1890-an, Ivan Pavlov meneliti air liur pada anjing sebagai respon saat diberi makan. Dia memasukkan tabung reaksi kecil di pipi masing-masing anjing untuk mengukur air liur saat anjing dikasi makan (dengan bubuk yang terbuat dari daging).

Awalnya Pavlov menduga anjing-anjing ini akan mengeluarkan liur sebagai repson dari makanan di depan mereka, tetapi dia memperhatikan kalo anjing-anjingnya mulai mengeluarkan liur setiap kali mereka mendengar langkah kaki asistennya membawakan makanan.

Ketika Pavlov menemukan bahwa benda atau peristiwa apa pun yang menurut anjing ada hubungannya dengan makanan (seperti asisten lab) akan memicu respons yang sama, ia menyadari bahwa ia telah membuat penemuan ilmiah yang penting.

Karena itu, ia mengabdikan sisa karirnya untuk mempelajari conditioning ini.

Konsep-Konsep Teori Pengkondisian Klasik

Behaviorisme didasarkan pada asumsi bahwa:

  • Semua pembelajaran terjadi melalui interaksi individu dengan lingkungan
  • Lingkungan membentuk perilaku kita

Satu hal yang khas dalam classical conditioning adalah ada sinyal netral sebelum refleks.

Dalam eksperimen klasik Pavlov dengan anjing, sinyal netral adalah bunyi nada dan refleks yang alami (mengeluarkan air liur) sebagai respons terhadap makanan.

Dalam percobaan kita, sinyal netral adalah aba-aba 1-2-3 dan refleks alami (memicingkan mata) sebagai respons terhadap angin yang kena mata. Dengan mengaitkan stimulus terkondisi (aba-aba) dengan stimulus tidak terkondisi (meniup mata), aba-aba saja bisa menghasilkan respons memicingkan mata.

Tapi tentu aja classical conditioning nggak sesimpel itu.

Ada fase di mana temen kita berhenti memicingkan mata setelah aba-aba. Bisa aja, beberapa hari setelah kamu kerjain, respon memicingkan mata temenmu ini muncul lagi.

Untuk memahami lebih lanjut tentang gimana cara kerja pengkondisian klasik, kita perlu mengenal lebih jauh beberapa prinsip dasarnya.

Kuy kita lihat lebih dekat lima prinsip utama pengkondisian klasik:

1.Acquisition / Akuisisi

Akuisisi adalah tahap awal pembelajaran. Ini muncul waktu respons pertama kali muncul dan secara bertahap diperkuat. Selama fase akuisisi ini, stimulus terkondisi (aba-aba) berulang kali diikuti stimulus tidak terkondisi (meniup mata).

Stimulus alami adalah sesuatu yang secara alami akan memicu respons tanpa perlu belajar. Kalo proses conditioning dilakukan, subjek akan mulai merespons stimulus yang awalnya netral. Berhubung stimulus ini udah menghasilkan respon yang diharapkan, sekarang namanya jadi sebagai stimulus terkondisi. Pada titik inilah kita bisa bilang bahwa respons telah diperoleh.

Sebagai contoh, kamu mengondisikan temenmu untuk memicingkan mata sebagai respons terhadap aba-aba. Kamu berulang kali memasangkan aba-aba dengan tiupan mata. Respons dikatakan telah diperoleh segera kalo temenmu mulai memicingkan mata sebagai respons terhadap aba-aba.

Setelah respons terbentuk, kamu bisa dapat secara bertahap memperkuat respons picingan mata untuk memastikan perilaku tersebut udah terkondisikan dengan baik.

2. Extinction/Kepunahan

Kepunahan atau extinction adalah berkurang atau menghilangnya respons yang udah kita kondisikan. Dalam kasus pengkondisian klasik, ini terjadi ketika stimulus terkondisi nggak lagi diikutkan dengan stimulus tak terkondisi.

Kalo kamu cuma ngasih aba-aba tanpa diikuti dengan tiupan, lama-lama temenmu nggak akan ngerespon lagi.

3. Spontaneous Recovery

Kadang-kadang, respons yang dipelajari bisa tiba-tiba muncul lagi bahkan setelah periode memudarnya respons. Pemulihan spontan adalah kemunculan kembali respons terkondisi setelah adanya periode jeda.

Dalam kasus ini, bayangkan kamu berhenti memberi aba-aba di depan mata temenmu. Setelah dia nggak memicingkan mata lagi (repsonsnya punah), beri jeda beberapa waktu, sekitar 15 menit. Kalo kamu tiba-tiba mengucapkan aba-aba lagi, respons yang udah punah itu bisa muncul lagi.

Inilah yang disebut dengan spontaneous recovery, atau pemulihan spontan.

Tapi respons akan punah lagi, kalo stimulus terkondisi (memicingkan mata) ini nggak diikuti dengan stimulus tak terkondisi (meniup).

4. Stimulus Generalization/Generalisasi Stimulus

Generalisasi stimulus adalah kecenderungan dari subyek untuk merespons terhadap stimulus terkondisi yang mirip.

Contohnya, setelah dikondisikan, temenmu mungkin akan tetep memicingkan mata meskipun aba-abanya diganti dengan tepukan atau isyarat tangan.

5. Stimulus Discrimination/Diskriminasi Stimulus

Diskriminasi adalah kemampuan untuk membedakan stimulus terkondisi dengan stimulus lain yang belum dipasangkan dengan stimulus tak terkondisi.

Kalo sebelum ini kamu memulai dengan aba-aba, coba mulai dengan ketukan di meja.

Temenmu mungkin nggak memicingkan mata, karena ada perbedaan bentuk stimulus. Diskriminasi melibatkan kemampuan membedakan jenis aba-abanya. Karena subjek mampu membedakan antara stimulus-stimulus ini, ia hanya merespons ketika stimulus yang dikondisikan disajikan.

Respons 4 dan 5 ini bisa bergantung ke persepsi subyek. Kalo dia menyamakan semua aba-aba, berarti dengan ketukan meja pun dia akan merepsons (generalisasi). Tapi kalo dia bener-bener fokus pada satu respons aja, dia akan mengabaikan stimulus lain (diskriminasi).

Bagaimana Cara Kerja Classical Conditioning?

Jadi gimana sih proses terjadinya classical conditioning?

Kamu mungkin udah dapet gambaran, tapi saya jelaskan lebih detil deh.

Proses classical conditioning terjadi atas tiga fase:

Fase 1: Sebelum Pengkondisian

Bagian pertama classical conditioning membutuhkan stimulus tak terkondisi, yang kalo dilakukan, akan memperoleh respons. Contohnya adalah memicingkan mata, itu kan refleks karena matanya ditiup. Tiupan inilah yang disebut stimulus tak terkondisi, karena stimulus ini udah menghasilkan respons tanpa harus dikondisikan.

Selama fase 1, stimulus tak terkondisi/unconditioned stimulus (UCS) menghasilkan respons tak terkondisi/unconditioned response (UCR).

Di fase ini ada stimulus yang belum menghasilkan repsons. Stimulus ini, kalo nggak dipasangkan sama UCS, nggak menghasilkan respons yang kamu mau.

Katakanlah di penelitian kita ini kamu mau membuat temenmu memicingkan mata. Mau ngasi aba-aba sampe mulut kamu kering, kalo mata temenmu nggak kamu tiup, dia nggak akan memicingkan mata.

Aba-aba inilah yang kita sebut stimulus terkondisi. Disebut terkondisi, karena kita bakalan mengkondisikan temen kita untuk merespons stimulus ini. Kalo temen kita ini belum kita kondisikan maka stimulus ini nggak ada responsnya.

Fase 2: Selama Pengkondisian

Ini adalah fase kedua dari proses classical conditioning. Di fase ini, stimulus terkondisi akan diberikan ke subyek lalu diikuti dengan stimulus tak terkondisi. Ini dilakukan berulang kali.

Akibat pemberian stimulus berurutan ini, temenmu menganggap kalo CS dan UCS ini akan selalu terjadi berurutan.

Di sini stimulus yang dulunya nggak menghasilkan respons pelan-pelan akan memunculkan respons.

Fase tiga: Setelah pengkondisian

Ini adalah tahap akhir dari pengkondisian. Stimulus terkondisi yang sebelumnya nggak memancing respons, akibat selalu dikaitkan sama stimulus alami, akhirnya bisa memicu respons. Dalam hal ini memicingkan mata karena aba-aba. Repons yang kita munculkan ini disebut respons terkondisi.

Disebut respons terkondisi karena respons ini hasil pengkondisian kita, bukan refleks alami.

Penelitian Terkait Pengkondisian Klasik

Penelitian Albert Kecil

Ivan Pavlov meneliti pengkondisian klasik pada anjing peliharaannya. Meski begitu, ternyata manusia juga bisa dikondisikan.

Dalam percobaan yang terkenal (meskipun sekarang udah terlarang), Watson dan Rayner (1920) menunjukkan hal itu.

Little Albert adalah anak berusia 9 bulan yang diuji pada reaksinya terhadap berbagai stimulus. Dia ditunjukkan tikus putih, kelinci, monyet dan berbagai topeng. Albert digambarkan “tidak merespons secara emosional,” nggak takut sama berbagai stimulus ini.

Namun, yang bikin dia kaget dan takut adalah palu yang dipukul ke batang besi. Suara keras ini bikin Albert kecil menangis.

Dua bulan kemudian, Little Albert berusia 11 bulan. Tikus putih dihadirkan lagi, dan beberapa detik kemudian palu dipukulkan ke besi. Ini dilakukan tujuh kali selama tujuh minggu berikutnya, dan selalu bikin si Albert nangis.

Sejak itu si Albert kecil akan ketakutan tiap dia ngeliat tikus putih.

Lebih jauh, ternyata kemudian fobia sama sesuatu yang berbulu dan putih, kayak anjing, mantel bulu, kapas, wol, bahkan jenggot putih. Ini disebut dengan generalisasi, yang udah kita bahas singkat tadi.

Watson dan Rayner menunjukkan kalo pengondisian klasik bisa memunculkan fobia.

Selama beberapa minggu dan bulan berikutnya, Albert diamati dan setelah sepuluh hari pasca pengkondisian, ketakutannya pada tikus jadi jauh lebih sedikit. Proses memunahnya respons terkondisi disebut kepunahan/extinction.

Tapi sisa-sisa pengkondisian tetap ada. Bahkan respons terkondisi bisa dimunculkan lagi dengan pengkondisian ulang, dengan rentang waktu yang lebih singkat dibanding pengkondisian awal.

Teori Classical Conditioning dalam Kehidupan

Kamu mungkin punya fobia tertentu yang jadi bahan tertawaan temen. Saya punya temen yang nangis kalo ditakut-takutin pake cacing. Temen saya yang lain, kakinya langsung tegang dan merinding kalo ada kucing.

Temen saya ada yang nggak mau masuk ke sebuah mall, hanya karena dia dulu pernah diputusin di mall itu. Masuk ke mall itu bikin dia sedih katanya. Surem emang, mukanya sangar tapi hatinya kayak Hello Kitty.

Kenapa sih orang bisa takut yang nggak logis pada sesuatu yang nggak bahaya? Kenapa tempat yang menurut kita biasa aja, menurut orang lain bisa bikin sedih dan galau?

Banyak respons yang muncul sebagai akibat dari pengkondisian klasik. Kejadian yang intens dan susah dilupakan membuat kita nantinya merespons stimulus yang serupa secara berlebihan.

Contohnya temen saya yang diputusin ini. Mungkin buat dia, diputusin oleh cewe yang dia sayang mempunyai dampak luar biasa di perasaannya yang halus itu. Kejadian itu mungkin terulang-ulang terus di benaknya, sehingga tanpa sadar dia melakukan classical conditioning sendiri.

Mall yang jadi tempat dia diputusin, tanpa disadari dia terjemahkan sebagai stimulus terkondisi. Respon berupa sedih dan galau lama kelamaan menjadi respons terkondisi setiap kali melihat mall.

Contoh lain adalah temen saya yang fobia kucing. Fobia kucing itu muncul gara-gara dia waktu kecil pernah ngeliat kucing ngelahirin. Darah dan lendir di mana-mana membekas begitu intens di kenangannya, bikin dia jijik luar biasa tiap ngeliat kucing.

Jijik yang merupakan respons tak terkondisi dari ngeliat lendir dan darah, lama-lama terasosiasi dengan kucing. Kucing di sini adalah stimulus terkondisi, dan jijik lama kelamaan jadi respons terkondisi tiap kali ngeliat kucing.

Classical conditioning nggak hanya terlihat di fobia. PTSD juga diyakini disebabkan karena proses yang mirip dengan pengkondisian ini.

Posttraumatic stress disorder (PTSD), yang diderita oleh veteran perang dan penyintas bencana dengan pengalaman traumatis, dapat memicu terbentuknya pengkondisian klasik. Bahkan bertahun-tahun setelah kejadian itu berlalu, para veteran mungkin merasakan takut dan kecemasan pada stimulus seperti suara keras (Roberts, Moore, & Beckham, 2007; Schreurs, Smith-Bell, & Burhans, 2011; Rosellini et al., 2015).

Pengondisian klasik juga bisa berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan.

Misalnya kamu yang bersemangat tiap mendengar lagu tertentu. Atau bau parfum pacar yang masih membekas di jaket kamu. Emosi bahagia bisa muncul karena ada kenangan positif yang intens dan membekas di otak kamu.

Oh iya, teori belajar Pavlov ini juga menjelaskan kenapa kecanduan sangat sulit ditangani.

Pecandu obat mengasosiasikan stimulus tertentu — seperti peralatan obat-obatan seperti jarum suntik, bau obat, atau ruangan tempat mereka menggunakan obat-obatan - dengan perasaan menyenangkan yang dihasilkan narkoba.

Hanya melihat jarum suntik udah cukup bagi seorang pecandu untuk memunculkan reaksi mengidam (Saunders, Yager, & Robinson, 2013; Valyear, Villaruel, & Chaudhri, 2017).

Kritik Terhadap Teori Belajar Pavlov

Classical conditioning merupakan terobosan besar di masanya. Bahkan penelitian inilah yang bikin Ivan Pavlov kemudian menang hadiah Nobel.

Tapi bukan berarti teori ini tanpa cela.

Pengondisian klasik terlalu menekankan bahwa kita belajar dan berkembang karena lingkungan, dan kurang memperhatikan aspek kompleks dalam diri kita selaku manusia.

Selain itu, ilmuwan pun berpendapat bahwa pendekatan dalam menganalisa perilaku ini cenderung reduksionis, artinya perbuatan kita yang kompleks kemudian disimpelkan menjadi stimulus dan respons aja.

Untuk menjelaskan perilaku manusia pun, Pengkondisian klasik juga merupakan tergolong reduksionis. Disebut reduksionis karena perilaku, yang prosesnya kompleks, dipecah menjadi stimulus-respons yang simpel.

Pendukung pendekatan reduksionis mengatakan bahwa ini ilmiah, karena perilaku yang diperkecil ini memungkinkan untuk diukur. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa pandangan reduksionis kurang valid. Jadi, walaupun reduksionisme bisa diukur, bisa aja ia menuntun pada penjelasan yang kurang lengkap.

Kok kurang lengkap?

Kita masuk pada kekurangan teori Pavlov yang terakhir: deterministik.

Teori ini menekankan bahwa manusia atau organisme lain berperilaku sebagai respons terhadap stimulus dari luar, dan mementahkan kehendak bebas indidvidu.

Dua orang dengan pola asuh dan lingkungan sosial yang sama, tetep bisa jadi dua orang yang berbeda. Lingkungan yang buruk dengan kemiskinan yang tinggi bisa melahirkan penjahat, tapi juga banyak atlet yang terlahir dari situasi semacam ini. Dan behavioristik kesulitan menjelaskan fenomena semacam ini.

Pendekatan deterministik sebenernya punya potensi untuk menerka dan memprediksi perilaku manusia dalam merespons sesuatu.

Tapi, pendekatan deterministik ini meremehkan keunikan pribadi manusia dan kemampuan mereka untuk memilih.

Yah, itu tadi yes penjelasan tentang teori classical conditioning, teori belajar Pavlov. Pada akhirnya, satu teori belajar aja nggak cukup untuk menjelaskan kita dan jiwa kita. Lain kali kita akan bahas tentang teori belajar kedua, yaitu operant conditioning.

Tapi untuk sementara saya mau nulis yang lain sih, yang agak ringan.

Referensi:

https://www.verywellmind.com/classical-conditioning-2794859

McLeod, S. A. (2018, Oct 08). Pavlov’s dogs. Simply psychology: https://www.simplypsychology.org/pavlov.html

Feldman, R., 2019. Essentials Of Understanding Psychology. New York: McGraw-Hill Education.