Kali ini saya mau ngebahas variabel skripsi burnout. Definisi burnout menurut ahli, ciri-ciri burnout, skala tentang burnout, dan variabel terkait burnout.
Siap? Kuylah kita mulai.
1. Definisi burnout menurut para ahli
Penggunaan istilah burnout sebenernya mulai muncul pada 1970-an di Amerika Serikat, di kalangan orang yang bekerja di front desk atau customer service.
Istilah burnout pertama digunakan di novel Greene terbitan 1961 dengan judul A Burn-Out Case. Novel ini bercerita tentang seorang arsitek tersiksa secara spiritual memilih berhenti dari pekerjaannya dan menarik diri ke hutan Afrika.
Menurut Leiter dan Maslach, burnout adalah penumpukan reaksi negatif terhadap sumber stres kerja yang terkait dengan ketidakcocokan antara si pekerja dan kerjaan yang ditentukan. Dalam pengertian ini, burnout adalah gangguan psikologis yang terdiri dari kelelahan kronis, sinisme, dan inefikasi, dan dialami sebagai respons berkepanjangan atas stres berat yang dirasakan di tempat kerja.
Cherniss (1980) mendeskripsikan burnout sebagai “sebuah proses di mana sikap dan perilaku seorang pekerja berubah secara negatif sebagai respons terhadap ketegangan yang dirasakan dari pekerjaan.”
Sementara, Maslach dan Jackson (1981) menyebut burnout sebagai “sindrom dari kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan prestasi yang bisa terjadi pada individu yang kondisi kerjanya terlalu menuntut dan stres yang melampaui kapasitas coping-nya, membuat ekspektasi mereka yang terlalu tinggi dan nggak realistis jadi tidak tersampaikan”.
Menurut Kreitner dan Kinicki (1992) burnout adalah akibat stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang mulai mempertanyakan nilai - nilai yang dianut.
Dari sini, kita bisa simpulkan kalo burnout adalah sebuah kondisi psikologis yang muncul akibat dari stres negatif yang bertumpuk-tumpuk, dapat merupakan gabungan ataupun secara terpisah dari ekspektasi kerja yang tinggi dan nggak realistis serta nggak sesuai dengan kapasitas kerja, dan secara perlahan menciptakan kondisi pekerja menjadi lelah secara emosional, sinis terhadap masa depan kerjanya, dan merasa nggak yakin lagi akan kemampuan kerjanya.
2. Jenis-jenis burnout di tempat kerja.
Burnout adalah kondisi kelelahan yang dapat terjadi pada semua individu, dengan etiologi dan gejala yang kurang lebih mirip (Farber, 2000). Meski demikian, Montero-Martin dkk (2012) menyebut bahwa burnout sebaiknya dibedakan sesuai tingkat dedikasi di tempat kerja.
Jadi sebenernya bentuk burnout akan berbeda tergantung dari tipe karyawannya.
Menurut Montero-Martin, subtipe burnout bisa dibedakan menjadi tiga. Frenetic, Under-challenged, dan worn-out.
Masing-masing subtipe ini merasakan burnout, tapi bentuk burnoutnya berbeda. Kita bahas satu-satu yes.
2.1. Tipe Frenetic – Akan merasakan Overload
Subtipe frenetic adalah jenis burnout yang dirasakan pada karyawan yang ambisius. Biasanya frenetic akan dirasakan pada orang-orang workaholic, mengorbankan kesehatan dan kehidupan pribadinya demi pekerjaan. Mereka ingin mencapai prestasi tertinggi, mengambil lebih banyak kerjaan dibandingkan seharusnya, dan kalo menghadapi stres mereka akan “double down” dengan melipatgandakan usaha kerja.
Subtipe ini sering merasakan kelelahan yang akut. Parahnya, bukannya beristirahat, subtipe ini berusaha mencari cara supaya tetep bisa kerja lebih keras. Active coping style yang dilakukan nggak menyelesaikan masalah, ibaratnya they are working for the sake of “feels like working”, bukannya berusaha mencari cara kerja yang lebih efektif.
Dalam pengujian BCSQ, Montero-Martin dkk (2011) menemukan bahwa mereka yang merasakan frenetic burnout biasanya bekerja lebih dari 40 jam seminggu.
2.2 Under-challenged – Akan Merasakan Kebosanan
Subtipe underchallenged adalah mereka yang merasa kurang tertantang sama kerjaan mereka. Mereka melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang membosankan. Orang-orang underchallenged hanya bekerja dengan standar rata-rata, sambil mengharapkan adanya kerjaan lain yang lebih seru.
Mereka memperlihatkan sikap tak acuh, menyelesaikan kerjaan sekadarnya, dan merasakan kebosanan sekaligus kurangnya perkembangan. Ini adalah bentuk dari minimnya perkembangan pribadi yang dirasakan.
Orang dengan subtipe underchallenged punya rasa sinis dan kebosanan yang meningkat, seiring semakin banyaknya tugas repetitif yang dikerjakan. Biasanya, coping yang mereka lakukan adalah mencari pengalihan (distraksi) dan menghindar dari pekerjaan.
Adapun subscale yang dirasakan adalah kurangnya minat dan antusiasme di tempat kerja; merasa kemampuannya nggak mendapat apresiasi, kurangnya pengalaman pertumbuhan pribadi, dan keinginan untuk melakukan pekerjaan yang berbeda yang lebih sesuai dengan keterampilan dan minat individu.
Kamu mungkin merasa heran dengan bentuk burnout under-challenged yang nggak sesuai sama definisi umum terhadap burnout. Tapi menurut DeMarzo dkk (2020) subtipe under-challenged dapat pula berkorelasi dengan kelelahan dan kurangnya efikasi diri, sehingga menciptakan kelompok resiko burnout yang pada berbagai penelitian sebelumnya sempat terabaikan.
2.3 Worn-out type – Akan Merasa Ingin Menyerah
Subtipe ‘worn-out’ dirasakan oleh mereka yang udah lama bekerja di satu perusahaan, biasanya 16 tahun atau lebih (Montero-Martin, 2011). Ciri utama mereka adalah rasa muak terhadap pekerjaan, mengabaikan pekerjaan, dan nggak bertanggung jawab sama pekerjaannya.
Orang dengan subtipe worn-out dipengaruhi oleh kekakuan organisasi dan kurangnya kendali atas hasil pekerjaan mereka. Kurangnya kontrol menunjukkan perasaan tidak berdaya karena banyaknya situasi yang ada di luar kendalinya.
Selain itu, kurangnya pengakuan adalah keyakinan bahwa tempat ia bekerja tidak mengakui upaya dan dedikasi kerjanya; dan pada akhirnya mereka akan menelantarkan tugas dan langsung menyerah saat dikasi kerjaan yang agak sulit.
3. Apa Sih Ciri-ciri burnout?
Selama bertahun-tahun, gejala burnout dipahami sebagai gabungan dari tiga aspek: kelelahan berlebih, merasa sinis terhadap hasil kerja dan pekerjaannya, serta rasa tidak sanggup lagi untuk terus bekerja. Namun, ada kritik dari banyak psikolog modern yang beranggapan bahwa burnout nggak bisa dikategorikan sebagai suatu gangguan klinis, tapi lebih tepat bila diterapkan sebagai sebagai suatu fenomena di tempat kerja.
Maslach sendiri menyebut ada tiga aspek burnout.
Yang pertama adalah meningkatnya rasa kelelahan emosional. Sumber daya emosional sangat kurang, jadi karyawan nggak bisa mengerahkan kemampuan terbaiknya, karena dia sendiri udah sangat lelah dari segi psikologis.
Yang kedua, sinisme. Sikap sinisme adalah sikap yang negatif serta sinis terhadap sesama pekerja, atasan, atau ke konsumen. Ryan (1971) menyebut kalo sikap sinis ini membuat seorang pekerja melihat klien atau konsumen sebagai sumber masalah, dan layak mendapatkan sikap negatif.
Maslach juga menyebut aspek ketiga, yaitu munculnya sikap inefikasi. Inefikasi yang dimaksud adalah kecenderungan seseorang untuk menganggap dirinya nggak mampu, nggak berkompeten, dan nggak puas dengan hasil kerjanya sendiri.
Secara khusus, Maslach berhipotesis bahwa tiga dimensi kelelahan ini muncul satu per satu seiring berjalannya waktu.
Dalam burnout, rasa kelelahan emosional adalah bentuk yang paling kentara. Ini adalah ciri-ciri yang paling sering dilaporkan oleh mereka yang merasa mengalami burnout. Dan, kelelahan ini juga yang paling sering dianalisis oleh para ahli.
Sinisme, atau sering pula disebut depersonalisasi, adalah upaya untuk menjaga jarak antara diri sendiri dengan orang lain, dengan secara sengaja mengabaikan orang.
Sinisme, atau kadang disebut juga depersonalisasi, adalah upaya untuk menjauhkan diri dari orang lain dengan secara aktif mengabaikan kualitas yang membuat orang lain itu unik dan menarik. Orang dengan depersonalisasi akan merespon atau peduli apabila komunikasi merupakan suatu kewajiban atau tuntutan pekerjaan, alias nggak bisa dihindari banget. Di luar urusan kerjaan, orang dengan depersonalisasi akan sinis dan nggak peduli.
Sebagai tambahan nih. Hubungan antara inefikasi dengan dua ciri burnout lainnya cenderung lebih kompleks.
Pada tahapan tertentu, rasa inefikasi muncul di dalam kelelahan, depersonalisasi, atau kombinasi keduanya (Byrne 1994, Lee & Ashforth 1996). Situasi kerja yang terlalu menuntut akan berkontribusi pada kelelahan dan sinisme, sehingga ujung-ujungnya bisa memunculkan rasa inefikasi pada diri seseorang. Dalam konteks pekerjaan lain, ketidakefektifan tampaknya berkembang secara paralel dengan dua aspek kelelahan lainnya, bukan secara berurutan (Leiter 1993).
Inefikasi di dalam burnout tampaknya muncul lebih gara-gara kurangnya sumber daya yang relevan. Sementara, rasa kelelahan dan sinisme muncul dari adanya beban kerja yang berlebihan dan konflik sosial.
4. Apa saja faktor yang menyebabkan burnout?
Oke, jadi kita udah dapet kesimpulan bahwa burnout punya ciri-ciri berupa munculnya rasa kelelahan, timbulnya sikap sinis, dan adanya persepsi inefikasi terkait pekerjaannya.
Terus apa aja faktor yang bisa menyebabkan burnout?
Leiter (1991, 1992b) menyebut bahwa burnout adalah bentuk yang muncul dari gap antara ekspektasi individu dalam memenuhi peran profesional mereka dan struktur organisasi.
Sementara, Baron dan Greenberg (Andarika, 2004) mengemukakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi burnout, yaitu: faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor eksternal yang mempengaruhi burnout meliputi kondisi kerja yang buruk, kurangnya kesempatan untuk promosi, adanya prosedur dan aturan kaku, gaya kepemimpinan yang kurang mengayomi karyawan serta tuntuan pekerjaan yang terlalu besar.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi burnout pada karyawan meliputi: faktor jenis kelamin, usia, harga diri.
Menurut La Fellete (Sumaryani, 1997) , karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap lingkungan kerja psikologisnya berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja psikologisnya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan.
Sebaliknya, karyawan yang merasakan lingkungan psikologisnya mengancam, menekan dan tidak nyaman akan lebih mudah menderita stres dan berpotensi mengalami burnout (Berliner dkk, 2005).
Penelitian yang dilakukan Hartawati dan Mariyanti (2014) menyimpulkan kalo self efficacy yang rendah juga mampu menimbulkan burnout.
Sementara Amoafo (2015), Clever (2002), dan Prins (2007) menyebut bahwa berbagai penyebab burnout berupa beban kerja berlebih, kurangnya sumber daya yang dibutuhkan untuk bekerja, kurangnya dukungan sosial, serta minimnya kontrol (otonomi) terhadap pekerjaan.
Sumber daya
Sumber daya yang saya maksud tadi nggak selalu berbentuk fisik. Sumber daya psikologis berupa dukungan dari kolega, atasan dan organisasi, terbukanya kesempatan untuk mengambil keputusan, kejelasan peran kerja, penghargaan, dan banyaknya peluang untuk meningkatkan kualitas diri dapat dievaluasi sebagai sumber daya pekerjaan.
Beban kerja yang berlebih
Tuntutan pekerjaan secara konsisten dapat memprediksi tingkat burnout yang lebih tinggi (Fernet, Guay, dan Senécal 2004; Zhong et al. 2009). Misalnya, pada penelitian yang dilakukan oleh (Barkhuizen, Rothmann, dan van de Vijver 2014; Navarro et al. 2010; Rothmann , Barkhuizen, dan Tytherleigh 2008) menyebut bahwa beban kerja yang tinggi dan tuntutan terkait kerja dengan jumlah yang menuntut menjadi variabel prediktor burnout.
Beban kerja berlebih dan tekanan secara konsisten merupakan prediktor burnout (McClenahan, Giles, dan Mallett 2007).
Dukungan sosial
Dukungan sosial dapat memprediksi burnout. Ini dibuktikan dari penelitian Rothmann, Barkhuizen, dan Tytherleigh (2008). Penelitian menunjukkan bahwa tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi dari organisasi atau atasan, kolega, ataupun dukungan sosial secara umum (McClenahan, Giles, dan Mallett, 2007) dapat memprediksi tingkat burnout yang dilaporkan lebih rendah. Menariknya, di antara akademisi Belanda, dampak dukungan sosial terhadap kelelahan emosional lebih berpengaruh bagi wanita dibanding pria (Van Emmerik 2002).
Konflik Peran
Dalam dunia akademisi, burnout pada pengajar juga bisa diprediksi melalui konflik peran dan peran yang ambigu (Ghorpade, Lackritz, dan Singh, 2011). Peran kerja yang tidak jelas terbukti memprediksi kelelahan emosional yang lebih besar dalam studi skala besar terhadap 1.067 akademisi di Belanda (Van Emmerik 2002). Kalo kamu mau meneliti tentang burnout, peran kerja yang ambigu ini bisa diartikan sebagai job description atau jobdesc yang nggak jelas. Jadi, bisa dihipotesakan bahwa peran kerja yang nggak pasti dapat menyebabkan burnout.
Selain itu, kurangnya apresiasi terhadap hasil kerja juga bisa memprediksi burnout (Singh dan Bush 1998).
Faktor Personal
Faktor personal, atau faktor pribadi juga bisa menjadi penyebab burnout.
Barkhuizen, Rothmann, dan van de Vijver (2014) menemukan bahwa optimisme secara tidak langsung memprediksi kelelahan, karena mempengaruhi persepsi pekerja tentang tuntutan pekerjaan. Penelitian lain menunjukkan optimisme secara langsung menurunkan tingkat kelelahan (OteroLópez, Mariño, dan Bolaño 2008; Rothmann, Barkhuizen, dan Tytherleigh 2008).
Ghorpade, Lackritz, dan Singh (2007), lebih lanjut, menemukan karakteristik kepribadian ‘big fve’ juga bisa mempengaruhi kelelahan fakultas.
Penelitian yang mereka lakukan menunjukkan bahwa tingkat ekstroversi yang tinggi, lalu neurotisisme yang rendah, dan tingkat openness to experience yang rendah dapat memprediksi burnout yang lebih rendah. Agreeableness dan neurotisisme dapat memprediksi depersonalisasi, sedangkan setiap dimensi dari big five, kecuali openness to experience, berdampak positif pada persepsi terhadap pencapaian kerja.
Sementara, Singh dan Bush (1998) menunjukkan bahwa motivasi intrinsik adalah prediktor negatif burnout di antara anggota fakultas AS dengan variabel motivasi memiliki koefisien terbesar di antara faktor-faktor pribadi yang ditinjau.
5. Apa saja dampak burnout?
Burnout dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, seperti hipertensi, gangguan gastrointestinal, dan sulit tidur. Burnout juga dikaitkan dengan masalah terkait kinerja, menunjukkan dampak langsungnya pada efektivitas tempat kerja.
Linch (2007) menyatakan bahwa tingkat burnout yang tinggi dapat memberikan dampak buruk pada kinerja seseorang, misalnya menurunnya performa dalam bekerja, merasa tidak berdaya, berkurangnya kepuasan hidup dan munculnya gejala simptom psikosomatik.
Burnout dapat mempengaruhi kesehatan, menimbulkan masalah fisik dan psikosomatis serta depresi, kecemasan, harga diri yang rendah, perasaan bersalah, dan toleransi yang rendah terhadap frustrasi ( Honkonen et al., 2006 , Maslach et al., 2001 , Schulz et al., 2001 , Schulz et al., 2001 , Schulz et al., 2001 , Schulz et al. al., 2011 ).
Sementara, Greenglass dan Burke (1990) dan Schonfeld (1989) menyimpulkan bahwa burnout dapat memprediksi depresi dan gejala emosional lainnya.
Studi terbaru menemukan hubungan timbal balik antara burnout dan depresi, dengan masing-masing aspek ini dapat saling memprediksi perkembangan satu sama lain.
Namun, perlu dicatat bahwa burnout sepenuhnya memediasi hubungan ketegangan di tempat kerja dengan depresi: ketika masalah di tempat kerja berkontribusi pada depresi, maka burnout adalah salah satu tahapan dalam proses menuju depresi tersebut (Ahola dan Hakanen, 2007).
Konsekuensi terkait pekerjaan dapat mencakup:
- Ketidakpuasan dengan pekerjaan ( Shanafelt et al., 2009 , Soler et al., 2008 ),
- Penurunan kualitas perawatan pada perawat ( Shanafelt, Bradley, Wipf, & Back, 2002 ),
- Kesalahan dalam perawatan kesehatan yang disediakan ( West et al., 2006 , Shanafelt et al., 2010 ),
- Bolos kerja dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan ( Borritz et al., 2006 , Duijts et al., 2007 , Maslach et al., 2001 , Soler et al., 2008 ),
- Niat untuk melepaskan pekerjaan, dan pengabaian ( Leiter dan Maslach, 2009 , Maslach et al., 2001 , Soler et al., 2008 ).
- Terakhir, dampak terhadap lingkungan pekerja meliputi masalah keluarga, konflik pekerjaan-rumah, dan penurunan kualitas hidup ( Dyrbye et al., 2011 , van der Heijden et al., 2008 ).
6. Apa saja variabel terkait burnout?
Variabel yang bisa dikaitkan sama burnout cukup banyak. Biasanya dikaitkan sama perilaku karyawan, atau dikaitkan sama faktor eksternal sebagai penyebab munculnya burnout. Beberapa contoh variabel yang pernah dikaitkan sama burnout bisa dilihat berikut ini.
Hubungan Burnout dengan beban kerja dan performa
Penelitian dari Septiari dan Fajriani (2016) menyebut kalo beban kerja bisa berdampak pada performa kerja, dengan burnout sebagai variabel mediatornya. Artinya, beban kerja belum tentu berdampak langsung ke performa kerja karyawan, selama karyawan itu nggak mengalami burnout.
Hubungan Burnout dengan Efikasi diri (Self efficacy)
Penelitian yang dilakukan sama Hartawati dan Mariyanti (2014) di sebuah TK di Jakarta menyebut kalo usia, status perkawinan, atau tingkat pendidikan nggak berdampak langsung ke burnout. Efikasi diri, alias keyakinan diri dalam melakukan suatu pekerjaan, bisa berdampak terhadap burnout pada pengajar TK.
Hubungan Burnout dengan Dukungan sosial
Sebuah penelitian dari Suitoro dkk (2021) menyebut bahwa dukungan sosial dapat menjadi variabel mediator antara dampak buruk dari burnout. Artinya, apabila seseorang mengalami burnout, dukungan sosial dapat mempengaruhi dampak yang terjadi pada burnout tersebut.
Hubungan Burnout dengan Kinerja
Hidayatullah dan Handari (2015) meneliti hubungan stres kerja dan burnout dengan kelelahan kerja. Dari hasil penelitian mereka, disimpulkan bahwa: 1) Stres kerja secara signifikan berpengaruh terhadap burnout. 2) Job burnout berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kinerja. 3) Stres kerja memiliki efek negatif dan signifikan terhadap kinerja. 4) Stres Kerja berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap kinerja melalui job burnout.
Hubungan Burnout dengan Hardiness
Azeem (2010) meneliti hubungan antara hardiness dan keterlibatan kerja dengan burnoutt. Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa hardiness berkorelasi negatif terhadap burnout. Semakin tinggi hardiness, semakin rendah burnoutnya.
Pengaruh Strategi Coping terhadap Burnout
Villanesia, Chairilsyah, dan Risma (2016) meneliti hubungan antara strategi coping dengan burnout. Dari penelitian mereka, ditemukan bahwa semakin rendah penggunaan strategi copingnya, semakin tinggi burnout yang dirasakan. Semakin tinggi penggunaan strategi coping, maka semakin rendah burnout yang dirasakan. Penelitian ini dilakukan kepada guru, kamu mungkin bisa meneliti dengan subyek dari profesi lain.
Pengaruh Burnout terhadap Intensi Turnover
Rocky dan Setiawan (2018) meneliti workplace incivility and job burnout terhadap intensi turnover. Hasilnya, ditemukan bahwa variabel wokplace incivility dan job burnout secara parsial dan bersama-sama mempengaruhi intensi turnover pada karyawan.
7. Apa saja skala terkait burnout?
Kita udah membahas banyak hal terkait burnout. Kamu mungkin mulai tertarik untuk meneliti variabel psikologi industri ini. Lalu, apa saja skala yang bisa digunakan untuk mengukur burnout?
Oldenburg Burnout Inventory
Yang pertama ada Oldenburg Burnout Inventory atau OLBI. Inventori satu ini menilai burnout melalui dua dimensi, yaitu kelelahan dan sinisme (Halbesleben dan Demerouti, 2005). Ini agak berbeda dibanding inventori burnout lain yang hanya mengukur tingkat kelelahan.
Saya juga nemu OLBI yang bisa digunakan untuk pelajar. Kamu bisa liat di sini, di halaman 16.
Shirom-Melamed Burnout Questionnaire
Skala burnout kedua yang bisa digunakan adalah Shirom-Melamed Burnout Questionnaire (SMBQ; Shirom dan Melamed, 2005). Nah, skala burnout satu ini membedakan antara kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan kognitif.
Kamu bisa liat Shirom-Melamed Burnout Questionnaire di sini.
Maslach Burnout Inventory
Maslach Burnout Inventory (MBI) adalah instrumen penilaian psikologis yang terdiri dari 22 item yang berkaitan dengan burnout. MBI dikembangkan oleh Christina Maslach dan Susan E. Jackson dengan tujuan menilai pengalaman burrnout individu.
Skala satu ini membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk menyelesaikannya.
MBI mengukur tiga dimensi kelelahan: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan pencapaian pribadi. MBI ini berbayar, dan butir aitemnya bisa disesuaikan dengan responden kamu. Kalo kamu butuh penggunaan MBI untuk pengajar, misalnya, kamu bisa beli MBI-ES. Atau kalo untuk pekerja medis, bisa pake yang MBI-HSS. Kamu bisa liat MBI di sini.
Single Item Burnout Measure
Skala burnout pdf berikutnya adalah Single Item Burnout Measure. Skala ini berfungsi sebagai pengganti untuk MBI (Dolan et al., 2015).
Item berikut ini digunakan oleh Dolan et al. (1981): “Secara keseluruhan, berdasarkan definisi Anda tentang burnout, bagaimana Anda menilai tingkat burnout Anda?” Sementara, pilihannya adalah (1) “Saya menikmati pekerjaan saya, saya tidak memiliki gejala burnout”, (2) “Kadang-kadang saya sedang stres dan saya tidak selalu memiliki energi sebanyak dulu, tetapi saya tidak merasa burnout, “(3)” Saya pasti mengalami burnout dan memiliki satu atau lebih gejala burnout, seperti kelelahan fisik dan emosional, “(4)” Gejala burnout yang saya alami tidak akan hilang. Saya sering memikirkan tentang frustrasi di tempat kerja, “dan (5)” Saya merasa benar-benar lelah dan sering bertanya-tanya apakah saya bisa melanjutkan ini. Saya berada pada titik di mana saya mungkin memerlukan beberapa perubahan atau mungkin perlu mencari semacam bantuan. ” Single item burnout measure bisa kamu download di sini.
Bergen Burnout Inventory
Bergen Burnout Inventory mengukur burnout pekerjaan dengan aspek berupa: (1) kelelahan di tempat kerja (dimensi emosional), (2) sinisme terhadap makna pekerjaan (dimensi kognitif), dan (3) rasa tidak mampu di pekerjaan (dimensi perilaku). BBI 9 item dapat ditemukan di makalah oleh Salmelo-Aro dkk (2011). Kamu bisa download Bergen Burnout Inventory di sini.
Copenhagen Burnout Inventory
Copenhagen Burnout Inventory adalah skala berjumlah 19 item dengan item positif dan negatif yang mencakup 3 area: pribadi (tingkat kelelahan fisik dan psikologis), pekerjaan (tingkat kelelahan fisik dan psikologis serta kelelahan terkait dengan pekerjaan), dan kelelahan dalam interaksi pekerja dengan klien (seperti pasien, pelajar, dll.).
Skala di dalam inventori ini menggunakan model skala likert, dengan tanggapannya berupa selalu, sering, kadang, jarang, dan tidak pernah / hampir tidak pernah. Bisa berupa sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.
Copenhagen Burnout Inventory bisa kamu download di sini.
Peluang penelitian skripsi tentang burnout
Jadi, seperti apa potensi penelitian tentang burnout? Apakah masih bisa diterima dosen?
Burnout adalah masalah yang sering dialami oleh pekerja dan pelajar. Dengan sebab yang bermacam-macam, burnout merupakan variabel yang tetep up to date, selama permasalahannya masih hangat.
Burnout pun masih punya urgensi, apalagi mengingat dengan kasus omicron yang naik, sehingga mungkin kebijakan kerja dari rumah akan diberllakukan lagi.
Kalo saya pribadi ngerasa burnout bisa diteliti ke pekerja startup/agensi yang kerjanya fast-paced dan sangat mengutamakan hustle culture. Kamu bisa ngeliat gimana burnout yang mereka rasakan dan apa yang mereka lakukan untuk meregulasi burnout tersebut.
Atau bisa juga meneliti burnout berdasarkan faktor demografi atau struktur organisasi, misalnya membedakan burnout pada perusahaan swasta dengan pemerintahan. Hipotesanya tentu ada perbedaan burnout, tapi yang perlu diperdalam adalah presentase burnout dan faktor mana yang menyumbang burnout paling besar.
Referensi untuk Skripsi Burnout
Demarzo, M., García-Campayo, J., Martínez-Rubio, D., Pérez-Aranda, A., Miraglia, J. L.,
Hirayama, M. S., de Salvo, V., Cicuto, K., Favarato, M. L., Terra, V., de Oliveira, M. B.,
García-Toro, M., Modrego-Alarcón, M., & Montero-Marín, J. (2020). Frenetic, under-
Challenged, and Worn-out Burnout Subtypes among Brazilian Primary Care Personnel:
Validation of the Brazilian “Burnout Clinical Subtype Questionnaire” (BCSQ-36/BCSQ-12). International journal of environmental research and public health, 17(3), 1081. https://doi.org/10.3390/ijerph17031081
Montero-Marín, J., Araya, R., Blazquez, B. O., Skapinakis, P., Vizcaino, V. M., and García- Campayo, J. (2012). Understanding burnout according to individual differences: ongoing explanatory power evaluation of two models for measuring burnout types. BMC Public Health 12:922. doi: 10.1186/1471-2458-12-922
Montero-Marín, J., and García-Campayo, J. (2010). A newer and broader definition of burnout: validation of the “Burnout Clinical Subtype Questionnaire (BCSQ-36)”. BMC Public Health. 10:302. doi: 10.1186/1471-2458-10-302
Montero-Marín, J., Monticelli, F., Casas, M., Amparo, R., Inmaculada, T., Gili, M., et al. (2011). Burnout syndrome among dental students: a short version of the “Burnout Clinical Subtype Questionnaire” adapted for students (BCSQ-12-SS). BMC Med. Educ. 11:103. doi: 10.1186/1472-6920-11-103
Montero-Marín, J., García-Campayo, J., Fajó-Pascual, M., Carrasco, J. M., Gascón, S., Gili, M., et al. (2011a). Sociodemographic and occupational risk factors associated with the development of different burnout types: the cross-sectional University of Zaragoza study. BMC Psychiatry 11:49. doi: 10.1186/1471-244X-11-49
Ruisoto P, Ramírez MR, García PA, Paladines-Costa B, Vaca SL and Clemente-Suárez VJ (2021) Social Support Mediates the Effect of Burnout on Health in Health Care Professionals. Front. Psychol. 11:623587. doi: 10.3389/fpsyg.2020.623587